Life was much easier when APPLE and BLACKBERRY were just fruits

Tuesday, June 14, 2011


 Malam ini di klinik, setelah menikmati semangkuk baso kuah hangat, sambil santai dan menunggu pasien saya membuka-buka halaman berita di Internet. Perhatian saya segera tertuju pada headline sebuah media berita online yang berjudul: Demi iPad, Remaja Nekat Jual Ginjal

Awalnya saya pikir artikel itu hanya berita berisi candaan. Ternyata setelah membaca seluruh isinya, kejadian itu memang benar terjadi. Diceritakan bahwa seorang remaja 17 tahun asal Cina nekat menjual ginjalnya setelah diiming-imingi uang seharga 22ribu yuan atau sekitar US$ 3.393 oleh seorang calo di Internet. Ternyata pemuda itu bermaksud menggunakan uang itu untuk membeli sebuah iPad 2 nantinya.

Akhirnya pada tanggal 28 April ginjal remaja itu pun diangkat. Operasi itu berlangsung di Rumah Sakit di Chenzhou Nomor 198 Cina. Orang tua remaja itu bahkan tak mengetahui operasi tersebut. Ketika pelajar itu pulang dan akhirnya mereka tahu, orang tuanya kemudian menghubungi pihak berwenang untuk melakukan pengusutan terhadap kasus itu.

Akhir-akhir ini produk Apple memang sedang naik daun di Cina. Tidak beda jauh saat peluncuran iPhone di Indonesia setahun yang lalu. Peminat tertinggi terutama berasal dari kalangan remaja dan dewasa muda. Termasuk remaja tadi yang menyambut dengan antusias tetapi karena tidak memiliki uang untuk membelinya, maka dia pun menjual salah satu ginjalnya.

Sebenarnya secara medis, untuk melakukan pendonoran ginjal harus melalui beberapa prosedur. Sebelumnya pendonor harus melewati pesyaratan dan pemeriksaan kesehatan yang sangat ketat.  Lalu kemudian dilakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan kecocokan antara ginjal pendonor dengan si penerima. Proses operasi tranplantasi pun harus dilakukan oleh dokter di Rumah Sakit yang berwenang.

Hidup dengan satu ginjal memang tidak sama dengan dua ginjal, karena berkaitan erat dengan daya tahan tubuh. Tapi tidak perlu khawatir bagi yang ingin menjadi donor, karena pendonor masih tetap bisa menjalankan kehidupan sehari-harinya secara normal, karena selama orang tersebut bisa menerapkan pola hidup yang sehat dan tidak melakukan aktivitas yang berlebihan maka melakukan donor ginjal tidak akan memicu timbulnya masalah apapun.

Tetapi tentunya pada proses tranplantasi ginjal atau organ apapun, terdapat perbedaan besar antara mendonor dengan menjual. Mendonorkan ginjal atau organ apapun secara sukarela kepada orang yang memang membutuhkan merupakan sesuatu yang mulia, karena dari kelengkapan tubuh yang sempurna ini, dia rela memberikan sebagian kepada orang yang jauh lebih membutuhkan. Sedangkan menjual ginjal atau organ lainnya, berarti terdapat unsur komersialisasi didalamnya, yang sama saja dengan sebuah bentuk dari rasa tidak bersyukur kepada Tuhan, karena menggadaikan kesempurnaan tubuh yang diberikan-Nya hanya demi seonggok uang.

Tetapi tentunya tidak semua orang berfikir serupa, saat melakukan pencarian di google dengan kata kunci "jual ginjal" saja dan ribuan artikel bermunculan, hal yang paling menyedihkan adalah kebanyakan dari artikel itu berisi penawaran untuk menjual ginjal dengan imbalan sejumlah uang. Sebagian bahkan merinci sejumlah gadget terbaru beserta merk yang diinginkan sebagai imbalannya. Hal seperti itu juga mungkin yang telah dialami remaja yang saya ceritakan diatas. Demi sebuah iPad dia kemudian rela menjual salah satu ginjalnya.

Ya Tuhan.. ternyata memang benar sebuah kalimat yang pernah saya baca di sebuah jejaring sosial..
Life was much easier when Apple and Blackberry were just fruits..

Do or Don't: Judge a book by its cover?

Wednesday, June 8, 2011

Diantara beberapa peribahasa serapan, "Don't judge a book by its cover" mungkin salah satu yang cukup terkenal dan cukup banyak penerapannya. Peribahasa yang artinya jangan menilai sebuah buku dari sampulnya ini maknanya adalah untuk menyarankan setiap orang agar tidak hanya menilai orang lain hanya dari sisi luar penampilannya saja. Ada aspek lebih dalam yang perlu digali lebih lanjut seperti misalnya tingkah laku dan kepribadian orang itu.

Saya sendiri pernah memiliki beberapa pengalaman yang berhubungan dengan menilai seseorang hanya dari sisi luar saja. Sekitar tiga bulan yang lalu, segerombolan anak muda berusia 18-20 tahun yang berpenampilan hitam-hitam ala anak punk, masuk ke klinik saya. Saya sedang sendiri karena saat itu penerima tamu di klinik yang biasa menemani berhalangan hadir. Naluri saya sebagai wanita membuat saya langsung mengambil gunting dan pepper spray dari laci dan berjaga dengan memegangnya dibalik meja tempat saya duduk sambil siap-siap berteriak apabila mereka berani melakukan hal yang tidak menyenangkan.



Tetapi yang selanjutnya terjadi malah membuat saya terharu. Kedelapan pemuda yang awalnya saya kira bermaksud melakukan tindak kejahatan itu ternyata datang dengan maksud membuat surat keterangan sehat untuk melamar pekerjaan. Lebih lanjut, saat mengobrol (dengan terlebih dahulu memasukkan gunting dan pepper spray kembali ke dalam laci, tentunya), saya jadi mengetahui, bahwa mereka ternyata cukup sopan dan ramah.

Kebalikannya juga pernah saya alami sewaktu kuliah dulu. Saat itu teman kos disebelah kamar saya sering didatangi teman pria yang merupakan teman lamanya sewaktu SMA. Penampilannya mewah dan rapi sekali,
dengan sepatu pantofel mengkilap, kemeja bermerek dan jam tangan mahal. Tidak lupa rambut klimis dan kata-kata yang penuh sopan santun.

Suatu hari, saat dia berkunjung, taman saya sedang tidak ada ditempat. Karena katanya telepon genggam miliknya habis baterai, maka dia meminjam telepon genggam saya untuk menghubungi teman saya itu. Tanpa ragu-ragu dengan didasari rasa percaya seratus persen karena penampilannya itu, saya pun memberikan telepon genggam saya. Setelah itu, saya masuk kedalam kamar untuk kembali meneruskan belajar sambil mempersilakan dia tetap diluar. Lima menit kemudian, karena saya pikir dia pasti sudah selesai menggunakan telepon genggam saya, maka saya pun keluar lagi untuk mengambilnya. Tetapi ternyata orang itu sudah tidak ada, raib beserta telepon genggam saya.

Dua pengalaman itu membuat saya sangat berhati-hati dan butuh waktu agak lama untuk menilai seseorang hanya dari sebuah kesan pertama yang berjudul penampilan. Karena terkadang orang dengan penampilan garang bisa bertindak mulia, sedangkan orang dengan penampilan rapi dan mewah justru bertindak kebalikannya.

Tetapi saya sendiri berpendapat sebuah pengecualian hendaknya diterapkan pada diri sendiri. Sebisa mungkin dalam hal apapun, agar selalu berusaha maksimal untuk berpenampilan dan menciptakan kesan pertama yang baik, tentunya dengan tanpa meninggalkan jati diri sendiri. Apalagi jika dihadapkan pada forum formal seperti saat melamar kerja, bertemu klien penting atau urusan penting lainnya.

Hal ini menurut saya sangat penting karena kita tidak pernah tahu apakah orang yang akan kita temui memiliki waktu cukup luang untuk menilai kepribadian kita lebih dalam atau hanya terpaku pada sisi luar kita saja. Sisanya kita tinggal berusaha untuk membuktikan agar kesan baik itu tidak sebatas hanya dari penampilan kita saja melainkan juga pada tingkah laku dan perbuatan kita. Agak sulit memang, karena saya juga masih berusaha keras supaya bisa seperti itu, tetapi tidak ada salahnya mencoba, kan?
 



Hm.. Jadi jika pertanyaan di judul tulisan ini diajukan pada diri saya sendiri: Do or Don't: Judge a book by its cover? maka saya akan menjawab: DO that to judge yourself, but DON'T do that to judge other people.. Happy wednesday all.. ^.<