Surat Izin (tidak) Sakit

Wednesday, February 16, 2011

“selamat siang, dok..”
           “ya.. Silahkan duduk pak, ada yang bisa saya bantu?”
“ m.. ini dok.. jual surat sakit ga yah?”
            “ oh.. maaf pak saya tidak menjual surat sakit..”
“ Dok tolong banget satu hari aja, lagi males kerja soalnya.. berapa sih dok?”
            "maaf ya pak.. saya kan tadi sudah bilang tidak menjual surat sakit.. Bapak mau bayar berapapun dan dengan alasan apapun saya tidak bisa memberikan kecuali memang benar-benar sedang sakit.. “


Siang ini, saya yang biasanya selalu berusaha seramah mungkin pada pasien, akhirnya sedikit mempertegas suara saya.

Ya.. sejak menjalani profesi sebagai dokter, kejadian seperti itu sudah biasa saya hadapi. Dan, syukurlah, dari awal saya memang berkomitmen pada diri sendiri untuk tidak memperjual belikan surat sakit. Bagi saya, jumlah uang yang diberikan tidak akan pernah sebanding dengan nilai moral yang saya tanggung sebagai seorang dokter. Tidak juga sejalan dengan sumpah jabatan yang pernah saya ikrarkan sebulan setelah menjalani wisuda profesi dokter saya.



Sekitar 30% dari pengunjung pasien di klinik baru saya pun datang dengan tujuan mencari surat sakit. Maklum saja, klinik baru memang selalu jadi sasaran para pencari surat sakit, karena (mungkin) mereka berfikir pasiennya masih sedikit sehingga akan mudah untuk membeli surat sakit disini. Ditambah lagi kalau dokternya seorang wanita, seperti saya. Tidak jarang mereka berani menekan dan sedikit memaksa. Kalau sudah menghadapi kasus seperti ini saya biasanya menghadapi dengan lebih tegas.

Saya sendiri, sebenarnya tipe dokter yang sangat berempati pada pasien. Untuk pasien yang setelah saya periksa ternyata penyakitnya memerlukan istirahat untuk proses pemulihannya, tanpa diminta pun, saya akan memberikan surat sakit supaya dia bisa beristirahat dan segera sembuh. Tapi jika penyakitnya ringan, maka saya hanya memberikan obat saja tanpa surat sakit.

Sedangkan untuk menghadapi para pencari surat sakit yang sebenarnya tidak sakit, dari pintu masuk saya sudah memasang tulisan “tidak menjual surat sakit”. Tapi entah mengapa dengan tulisan sebesar itu pun terkadang masih saja ada yang menanyakan apakah disini menjual surat sakit.

Sebuah ironi apabila dibandingkan dengan beberapa pasien saya yang sakit cukup parah dan seharusnya istirahat, tetapi malah menolak saat diberi surat izin sakit. Kebanyakan dari mereka adalah yang memiliki motivasi kuat bahwa setelah minum obat, mereka akan segera sembuh dan bisa melanjutkan bekerja. Mereka adalah manusia yang dengan penuh syukur, memandang pekerjaan bukan sebagai beban, melainkan sebagai nikmat sangat berharga yang didapatkan dengan susah payah untuk membantu mereka dalam menghidupi dan mensejahterakan keluarga mereka. Sehingga dalam kondisi sakit pun sebisa mungkin mereka meminimalisir jumlah ketidakhadiran dengan tetap bekerja.

Saya tidak tahu bagaimana awalnya, sehingga jual-beli surat sakit menjadi sebuah budaya. Siapa yang harus disalahkan pun masih tidak jelas. Oknum dokter atau pegawai klinik yang dengan mudah menjual surat sakit kah? Atau pencari surat sakit itu sendiri? Atau kalau mau dirunut ke lebih dasar, mungkin pemerintah lah yang harus bertanggung jawab karena pendidikan moral yang seharusnya sudah tertanam dari dini sejak dibangku sekolah dasar, pada faktanya belum terlaksana sepenuhnya.

Saya masih ingat saat masih kelas 5 SD, apabila tidak hadir karena sakit atau keperluan lain cukup di wakili oleh surat ijin yang ditandatangani oleh orangtua. Saat itu, tidak sedikit teman yang sehari sebelumnya tidak masuk sekolah karena bolos, berbohong pada guru dengan menulis dan menandatangani sendiri surat ijin mereka. Jadi, dimulai dari situ kah budaya itu?

Darimanapun, sepertinya budaya tidak baik itu sedikit demi sedikit harus secepatnya dikurangi. Mengingat, menurut hasil perbincangan dengan beberapa teman yang menjadi manajer di perusahaan asing, banyak investor asing yang menanam saham di negri tercinta ini ternyata mengeluhkan disiplin pekerja Indonesia yang dinilai masih kurang. Dikhawatirkan nantinya investor-investor itu akan pindah ke negara lain seperti China, India, Vietnam, atau negara asia lain dengan upah tenaga kerja yang lebih murah dan kedisiplinan yang lebih tinggi. 


Semoga sih jangan terjadi ya. Semoga juga, banyak yang setelah membaca tulisan ini, mulai menjadi pribadi yang lebih disiplin dan mengurangi kebiasaan memanfaatkan surat sakit untuk keperluan lain. Kecuali memang benar-benar sedang sakit, tentunya. Semoga..semoga..semoga.. ^^