Pernak-pernik Mudik (2) : Jawa ngoko, Kromo inggil, Sunda kasar, Sunda lemes.. Bahasa Universal!

Saturday, September 10, 2011

Dari Indramayu saat menuju Bandung, kami sempatkan mampir sebentar di kota tetangga dengan budaya yang persis sama, Cirebon. Di kota udang ini, saya mencicipi makanan khas yang bernama Empal Gentong. Olahan daging sapi yang bentuknya mirip dengan gulai tapi kuahnya berwarna kuning seperti soto. Saya ditemani seorang teman yang berasal dari Cirebon, bernama Eva.


Dari penjelasannya saya jadi tahu bahwa sepanjang jalan di desa Sukatani temat tinggalnya, merupakan area berjualan makanan khas Cirebon itu. Yang paling terkenal adalah Empal gentong mang darmo yang katanya memiliki hampir 10 cabang. Saat dicicipi, rasanya memang sangat lezat, penuh rempah tradisional yang semakin menambah citarasa. 

Setelahnya, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan melewati kota-kota berikutnya seperti Majalengka dan Sumedang. Di kota Sumedang, perjalanan sedikit terhambat karena macet. Waktu tempuh dari Cirebon ke Bandung, yang umumnya memakan waktu 3 jam, bertambah hingga 10jam. Untungnya sejak awal Ayah sudah mempersiapkan menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk saat mudik, termasuk kemacetan.

Sampai di kota Bandung, segala kelelahan terbayar oleh cuaca dingin dan segar yang menjadi ciri khas kota itu. Kami tinggal sejenak disana untuk berkeliling ke sanak famili sambil mencicipi makanan khas seperti mie kocok bandung, Iga bakar dan masakan lainnya, serta membeli oleh-oleh. Karena kebetulan kekasih saya juga tinggal di kota itu, maka memberi kesempatan juga untuk saya bertemu sebentar dengannya. Satu hari yang sibuk tetapi menyenangkan membuat saya dan keluarga siap untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju Sukabumi

Perjalanan menuju Sukabumi ternyata sangat lancar tanpa ada kemacetan yang berarti. Jarak tempuh 3jam berlalu tanpa hambatan. Di kota yang wilayahnya cukup luas itu, kami bertemu dengan seluruh keluarga dari Ibu, yang seperti bisa selalu terlihat ramah. Kebetulan kami mengadakan acara makan siang bersama yang membuat seluruh paman, bibi,uwak dan sepupu berkumpul dalam suasana kekeluargaan yang penuh canda dan tawa.

Kami juga menyematkan berkunjung ke kediaman adik dari nenek yang tinggal di daerah pedesaan Sukabumi. Suasana desa yang jauh dari keramaian, ditambah suguhan sederhana berupa olahan makanan hasil kebun sendiri, kembali membuat saya dan keluarga segar secara jasmani maupun rohani. Sayang, keterbatasan waktu membuat kami tidak bisa lama-lama menghabiskan hari di kota itu. Esoknya kami pun beranjak pulang menuju Tangerang.

Empat hari pulang kampung yang menyenangkan memberi saya banyak pelajaran. Tidak hanya pelajaran geografi dengan menghapal nama-nama kota yang dilewati beserta keistmewaannya seperti saat kecil dulu, tetapi juga berbagai pelajaran hidup. Belajar kerja keras dari seorang Mimi di Indramayu, belajar kesabaran setiap kali menghadapi macet, belajar kesederhanaan dari kehidupan desa dan yang utama belajar menyadari pentingnya sebuah ikatan bernama keluarga.

Satu hal lagi yang saya kemudian sadari, bahwa dari berbagai kota yang dikunjungi, dan puluhan orang yang ditemui, lengkap dengan budaya dan bahasa mereka yang berbeda-beda, dari Jawa ngoko, Kromo inggil, Sunda kasar dan Sunda lemes. Saya menemukan suatu bahasa universal yang menyatukan semuanya. Bahasa penghubung yang mudah dimengerti dan dipahami semua orang itu bernama senyuman. Yang konon katanya, apabila tulus melakukannya, juga bisa dirasakan didalam hati oleh orang yang tidak bisa melihat.

Selamat jalan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Insyaallah kita bertemu lagi di tahun mendatang, lengkap beserta pernak-pernik mudik dan segala pelajaran yang kian berharga yang didapat saat menjalaninya. :)

0 comments: